ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM: TELAAH TERHADAP ANAK (PELAKU) KEKERASAN SEKSUAL DALAM HUKUM JINAYAT ACEH
Oleh
Yasin Yusuf Abdillah, S.HI., M.H.[1]
Email: yeye_abdi@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat yang harus dijunjung tinggi. Anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan. Selain itu, Anak juga berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan Anak selalu menarik untuk dibahas, berbagai sudut pandang telah dibahas terutama dalam hal Anak yang berhadapan dengan hukum. Banyak faktor yang mempengaruhi penyebab anak berhadapan dengan hukum, diantaranya yaitu faktor keluarga, faktor lingkungan/pergaulan, faktor disekolah, faktor ekonomi dan faktor gadget. Akhir-akhir ini tidak jarang anak melakukan kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang dimaksud dalam tulisan ini yaitu Pelecehan seksual dan pemerkosaan sebagai bentuk perbuatan jarimah/tindak pidana yang dilakukan oleh Anak sebagai pelaku di wilayah hukum Mahkamah Syar’iyah se Aceh.
Hasil penelusuran penulis, berdasarkan Laporan Perkara Jinayat Januari s.d Desember 2020 yang diterima Mahkamah Syar’iyah se Aceh, Anak sebagai pelaku kekerasan seksual baik itu pelecehan seksual maupun pemerkosaan ada 11 kasus.[1] Hal ini menunjukkan bahwa, pelaku kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, namun sudah merambah ke anak-anak
[1]https://ms-aceh.go.id/transparansi-kepaniteraan/laporan-perkara/laporan-perkara jinayat/3327 -laporan-perkara-jinayat-januari-s-d-desember-2020.html#diterima-ms-se-aceh. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2021.
dan itu memerlukan perhatian yang serius oleh semua pihak. Perhatian orang tua terhadap Anak, sosialisasi disekolah dan para aparat penegak hukum.
Bagi Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, disatu sisi Anak/pelaku jarimah harus dilindungi hak-haknya, namun disisi lain Anak harus diberi tindakan ataupun hukuman sebagai pembelajaran bagi Anak tersebut. Bagaimana Qonun Aceh dan peraturan perundang-undangan mengatur Anak yang berhadapan dengan hukum pada jarimah kekerasan seksual?.
Dengan alasan-alasan tersebut di atas, penulis tertarik untuk membahas permasalahan tentang “Anak Berhadapan Dengan Hukum: Telaah Terhadap Anak (Pelaku) Kekerasan Seksual Dalam Hukum Jinayat Aceh”. Hukuman apa yang pantas dan layak bagi Anak (pelaku) kekerasan seksual, dan bagaimana Qonun dan peraturan perundang-undangan mengaturnya.
Kajian tulisan ini bertujuan untuk membahas Anak yang berhadapan dengan hukum pada jarimah kekerasan seksual dalam qonun hukum jinayat Aceh, dan juga bagaimana upaya penanganan serta penanggulangan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum.
PEMBAHASAN
Pengertian Anak dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia.
Ada beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur batas usia dikatakan Anak. Siapakah yang dimaksud dengan Anak itu? Menurut peraturan perundang-undangan, yang dimaksud dengan Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk Anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.[1] Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk Anak yang masih dalam kandungan.[2] Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi
[1]Lihat Pasal 1 Ayat 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
[2]Lihat Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
yang disebabkan oleh tindak pidana.[1] Sedangkan menurut qonun hukum jinayat Aceh Anak adalah orang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah.[2]
Dari beberapa definisi di atas, dapat penulis simpulkan bahwa Anak adalah orang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, belum menikah dan mengalami penderitaan fisik, mental/psikis yang disebabkan karena tindak pidana.
Sedangkan Anak yang berhadapan dengan hukum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah Anak yang berkonflik dengan hukum, Anak yang menjadi korban tindak pidana, dan Anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah Anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
PENGERTIAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM HUKUM JINAYAT ACEH
Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum[3].
Kekerasan seksual dalam hukum jinayat Aceh dapat berbentuk pelecehan seksual dan pemerkosaan. Dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
[1]Lihat Pasal 1 Ayat 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
[2]Lihat Pasal 1 Ayat 40 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat.
[3]lihat pasal 1 ayat 15a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Hukum Jinayat yang dimaksud dengan Pelecehan Seksual adalah perbuatan asusila atau perbuatan cabul yang sengaja dilakukan seseorang di depan umum atau terhadap orang lain sebagai korban baik laki-laki maupun perempuan tanpa kerelaan korban. Sedangkan pemerkosaan adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur orang lain sebagai korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban.
Dengan demikian, kekerasan seksual berarti suatu perbuatan asusila yang mengakibatkan kesengsaraan seksual yang dilakukan oleh Anak dibawah umur.
TELAAH TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU KEKERASAN SEKSUAL DALAM HUKUM JINAYAT ACEH.
Dari kasus yang ada di wilayah hukum Mahkamah Syar’iyah se Aceh, pelaku kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, namun adakalanya dilakukan oleh Anak di bawah umur. Ada beberapa ketentuan bagi Anak sebagai pelaku kekerasan seksual. Pertama, Anak yang masih kurang dari 12 tahun, dan kedua Anak yang telah mencapai 12 tahun hingga 18 tahun.
Anak yang masih kurang dari 12 tahun tidak diajukan ke Pengadilan Anak, namun dapat dikenai tindakan berupa dikembalikan kepada orang tua atau diikutsertakan program pendidikan diinstansi pemerintah atau LPKS. Sedangkan Anak yang telah mencapai umur 12 tahun hingga 18 tahun dapat dikenai tindakan maupun pidana/hukuman.
Bunyi Pasal 67 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat yaitu: “Anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum menikah melakukan Jarimah, maka terhadap Anak tersebut dapat dikenakan ‘Uqubat paling banyak 1/3 (satu per tiga) dari ‘Uqubat yang telah ditentukan bagi orang dewasa dan/atau dikembalikan kepada orang tuanya/walinya atau ditempatkan di tempat yang disediakan oleh Pemerintah Aceh atau Pemerintah Kabupaten/Kota”.
Jika dipadukan dengan undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pasal 69 ayat 2 yang menyatakan “Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan”.[1] Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak sesuai dengan pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, meliputi:
- pengembalian kepada orang tua/Wali;
- penyerahan kepada seseorang;
- perawatan di rumah sakit jiwa;
- perawatan di LPKS;
- kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
- pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
perbaikan akibat tindak pidana.
Antara Qonun Hukum Jinayat Aceh dengan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak, saling bersesuaian antara satu dengan lainnya sehingga tidak bertentangan. Hanya saja dalam undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak diberi batasan anak yang hanya diberi tindakan, yakni umur Anak yang telah mencapai 12 tahun hingga 14 tahun. Sehingga dapat disimpulkan, Anak yang mencapai 12 tahun hingga 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan, sedangkan anak yang telah mencapai 14 tahun hingga 18 tahun dapat dikenai hukuman.
Hal yang perlu diperhatikan dalam mengambil keputusan terhadap Anak pelaku kekerasan seksual adalah melihat “kepentingan terbaik bagi Anak”, dalam artian harus selalu memperhatikan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak.
Sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak, maka penjatuhan pidana terhadap Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Artinya, penjatuhan pidana terhadap Anak pelaku tindak pidana sedapat mungkin diupayakan untuk mengembalikan keadaan Anak kepada keadaan sebelum Anak melakukan
[1] Lihat pasal 69 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
tindak pidana/jarimah. Selanjutnya pasal 71 ayat (4) Undang-undang ini menyebutkan: “Pidana yang dijatuhkan kepada Anak pelaku dilarang melanggar harkat dan martabat Anak”.
Selain itu, hal yang perlu diperhatikan dari hakikat dari perlindungan terhadap Anak maupun tujuan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah supaya berbanding lurus serta selaras untuk melindungi Anak, serta hak-haknya. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak Anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan Anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksud untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi Anak yang diharapkan sebagai generasi muda penerus bangsa.
Bagaimana upaya penanggulangan dan penanganan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum?. Menurut penulis, ada beberapa bentuk penanggulanagn dan penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu:
- Pencegahan/preventif
Dengan maraknya kasus kekerasan seksual yang melibatkan Anak sebagai pelaku kekerasan, dibutuhkan pencegahan yang serius dari berbagai pihak, mulai dari pihak keluarga, sosialisasi di sekolah, masyarakat serta para aparat penegak hukum.
Pihak keluarga merupakan pihak yang pertama bagi Anak dalam melakukan aktifitas. Sehingga, keluarga mempunyai peran yang sangat penting dalam melakukan pengawasan terhadap Anak. Perhatian serta kasih sayang yang cukup dari pihak keluarga diharapkan dapat mengurangi kasus Anak sebagai pelaku kekerasan seksual. Banyak faktor yang menyebabkan Anak melakukan kekerasan seksual, namun keluarga juga salah satu faktor tersebut.
- Tindakan
Tindakan sangat dibutuhkan bagi Anak yang melakukan tindak pidana/ perbuatan jarimah. Ada ketentuan Anak dapat dilakukan tindakan dan atau
hukuman yaitu: Anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum menikah melakukan Jarimah, maka terhadap Anak tersebut dapat dikenakan ‘Uqubat paling banyak 1/3 (satu per tiga) dari ‘Uqubat yang telah ditentukan bagi orang dewasa dan/atau dikembalikan kepada orang tuanya/walinya atau ditempatkan di tempat yang disediakan oleh Pemerintah Aceh atau Pemerintah Kabupaten/Kota.[1]
Bagi Anak yag berhadapan dengan hukum/Anak sebagai pelaku kekerasan seksual diberikan tindakan bertujuan untuk merubah tingkah lakunya. Sehingga tindakan-tindakan berupa dikembalikan kepada orang tua, pelayanan sosial, dan atau dibina di pesantren yang diawasi oleh pembimbing kemasyarakatan, dapat memberikan pembelajaran bagi Anak yang berhadapan dengan hukum.
- Hukuman
Hukuman merupakan salah satu langkah penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum/Anak sebagai pelaku kekerasan seksual. Hukuman ini bukan untuk ajang balas dendam, namun lebih dari itu untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab pada diri Anak tersebut. Selain itu, hukuman bagi Anak yang berhadapan dengan hukum harus dilakukan sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya sehingga tidak terkesan berlebihan dalam memberikan hukuman.
Dengan adanya hukuman bagi Anak yang berhadapan dengan hukum, diharapkan ada perubahan perilaku bagi Anak tersebut. Hal-hal yang mempengaruhi Anak melakukan kekerasan seksual harus dicegah, seperti lingkungan tempat tinggal Anak, lingkungan sekolah dan lainnya. Hukuman ini sedapat mungkin langkah terakhir untuk menegah anak berhadapan dengan hukum supaya hak-hak anak dan tumbuh kembang anak terjamin dan tidak terganggu.
- Pemulihan
Supaya anak tidak mengulangi perbuatan jarimah, dibutuhkan pemulihan bagi anak tersebut. Upaya pemulihan dapat dilakukan dengan cara pembinaan-
[1]Lihat Pasal 67 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat.
pembinaan terhadap anak pelaku kekerasan seksual yang disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota, LPKS misalnya. Pemulihan bagi anak yang berhadapan dengan hukum juga dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya melakukan perubahan lingkungan bagi anak, menyekolahkan anak ke pondok pesantren, atau setidaknya memindahkan anak ke lingkungan yang lebih baik.
Pembinaan-pembinaan terhadap anak guna pemulihan bagi anak berhadapan dengan hukum harus selalu dilaksanakan, tentunya dengan berpedoman pada ketentuan yang ada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) lembaga atau tempat dimana Anak menjalani masa pidananya.
Penanggulangan dan penanganan anak berhadapan dengan hukum dapat dilakukan secara terpadu antara pencegahan, tindakan, hukuman, dan pemulihan sehingga kejahatan yang dilakukan dengan anak dapat berkurang dan tercegah.
PENUTUP
Kesimpulan
Penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum/Anak yang melakukan kekerasan seksual (pelecehan seksual dan pemerkosaan) diharapkan dapat merubah perilaku Anak tersebut. Selain itu, Anak dapat diterima kembali pada lingkungan masyarakat.
Penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum memiliki metode yang berbeda dengan penanganan perkara orang dewasa. Hal tersebut karena perkara Anak mempunyai karakteristik tersendiri guna menjaga tumbuh kembang Anak sehingga berbeda proses penanganannya. Asas kepentingan terbaik bagi Anak, pendekatan Keadilan Restoratif menjadi acuan dalam memeriksa Anak yang berhadapan dengan hukum.
Penanggulangan dan penanganan anak berhadapan dengan hukum dibutuhkan kerjasama antara pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat dan keluarga sehingga dengan melibatkan komponen-komponen tersebut kasus anak berhadapan dengan hukum yang melakukan kekerasan seksual dapat ditangani dengan baik.
DAFTAR REFRENSI
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat.
https://ms-aceh.go.id/transparansi-kepaniteraan/laporan-perkara/laporan-perkara jinayat/3327 -laporan-perkara-jinayat-januari-s-d-desember-2020.html#diterima-ms-se-aceh. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2021.